Smapgride.sch.id – Dalam sebuah forum ekonomi syariah yang dihadiri para tokoh, akademisi, dan pelaku industri, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pandangan yang langsung mengundang perhatian publik. Ia menyebut bahwa pajak memiliki esensi yang sama dengan zakat dan wakaf: mengambil sebagian rezeki yang dimiliki oleh seseorang untuk disalurkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan.
Pernyataan ini tidak datang tanpa dasar. Menurutnya, setiap bentuk rezeki yang kita peroleh mengandung “hak orang lain” yang harus dibagikan. Zakat, wakaf, dan pajak hanyalah instrumen yang berbeda secara bentuk dan tata kelola, tetapi sama-sama memiliki tujuan untuk mewujudkan keadilan sosial.
Memahami Kesamaan Esensi: Pajak, Zakat, dan Wakaf
Secara sederhana Sri Mulyani , zakat adalah kewajiban bagi umat Muslim untuk menyisihkan sebagian harta kepada golongan yang berhak menerimanya (mustahik), sementara wakaf adalah pemberian harta secara sukarela untuk digunakan demi kepentingan umum dalam jangka panjang. Pajak, meski diatur oleh hukum negara dan bersifat wajib bagi seluruh warga negara, pada hakikatnya juga berfungsi untuk mendistribusikan kembali kekayaan demi kepentingan bersama.
Sri Mulyani mengajak publik untuk melihat pajak dari perspektif ini: bukan sebagai beban, melainkan sebagai bentuk gotong royong modern yang manfaatnya bisa dirasakan secara luas.

Perbedaan dan Persamaan dalam Tabel
Aspek | Zakat | Wakaf | Pajak |
---|---|---|---|
Landasan | Ajaran agama Islam | Ajaran agama, sosial, dan filantropi | Konstitusi dan undang-undang negara |
Sifat | Wajib bagi umat Muslim | Sukarela | Wajib bagi seluruh warga negara |
Tujuan | Membantu mustahik | Manfaat jangka panjang untuk umum | Membangun layanan publik dan pemerataan |
Pengelola | BAZNAS, LAZ | Nazir wakaf | Pemerintah pusat dan daerah |
Penerima | Fakir, miskin, dan golongan tertentu | Seluruh masyarakat yang memanfaatkan | Seluruh rakyat melalui program dan infrastruktur |
Pajak dalam Kerangka APBN: Bukti Manfaat Nyata
Sri Mulyani menegaskan bahwa pajak yang dibayarkan masyarakat tidak berhenti di kas negara. Dana ini dialokasikan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membiayai berbagai program dan proyek pembangunan, antara lain:
- Program Keluarga Harapan (PKH): Memberikan bantuan tunai bersyarat kepada jutaan keluarga miskin, khususnya untuk pendidikan dan kesehatan anak.
- Bantuan Sembako: Menjaga daya beli masyarakat berpenghasilan rendah melalui distribusi pangan pokok dengan harga terjangkau.
- Dukungan UMKM: Memberikan akses modal usaha, pelatihan, dan fasilitas pembiayaan dengan bunga rendah agar usaha kecil bisa berkembang.
- Pembangunan Fasilitas Kesehatan: Mulai dari puskesmas di desa terpencil hingga rumah sakit rujukan di kota besar.
- Akses Pendidikan Gratis: Menyediakan bantuan operasional sekolah (BOS) dan beasiswa bagi siswa dari keluarga kurang mampu.
- Infrastruktur Publik: Pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan, dan sarana transportasi yang menunjang perekonomian nasional.
Semua ini, katanya, adalah wujud nyata bahwa pajak digunakan untuk kemaslahatan bersama mirip dengan filosofi zakat dan wakaf.
Perspektif Ekonomi Syariah dalam Pajak
Dalam ekonomi syariah, konsep redistribusi kekayaan adalah hal fundamental. Zakat dan wakaf merupakan mekanisme yang diatur oleh agama untuk menghindari penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang. Pajak, dalam kerangka negara modern, memiliki tujuan yang sama: mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi dan memastikan semua lapisan masyarakat mendapatkan akses yang setara terhadap sumber daya.

Sri Mulyani ingin menunjukkan bahwa nilai-nilai ekonomi syariah sebenarnya telah terintegrasi dalam kebijakan fiskal negara, hanya saja menggunakan istilah dan prosedur yang berbeda.
Mengubah Persepsi Pajak di Masyarakat
Salah satu tantangan besar pemerintah adalah mengubah persepsi masyarakat tentang pajak. Banyak yang melihat pajak hanya sebagai kewajiban yang memberatkan, tanpa memahami manfaat langsungnya. Dengan menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf, Sri Mulyani berusaha membangun narasi baru: pajak adalah kontribusi moral dan sosial yang akan kembali kepada rakyat dalam bentuk kesejahteraan.
Jika masyarakat mulai memahami hal ini, kepatuhan pajak berpotensi meningkat, dan penerimaan negara pun bisa bertambah signifikan untuk mendanai program-program sosial.
Pajak sebagai Investasi Sosial Jangka Panjang
Pajak bukan hanya untuk kebutuhan jangka pendek seperti bantuan sosial atau subsidi. Pajak juga menjadi sumber pendanaan utama untuk proyek jangka panjang yang manfaatnya bisa dirasakan hingga generasi berikutnya. Misalnya:
- Pembangunan bendungan untuk irigasi pertanian yang meningkatkan produktivitas pangan.
- Pembangunan jaringan listrik desa yang membuka peluang ekonomi baru.
- Modernisasi sistem transportasi publik untuk mengurangi kemacetan dan polusi.
Dengan cara ini, pajak berperan ganda: memberi bantuan langsung bagi yang membutuhkan saat ini, sekaligus menciptakan fondasi ekonomi yang lebih kokoh di masa depan.
Tantangan dan Harapan
Meski konsepnya mulia, penerapan pajak sebagai instrumen kesejahteraan membutuhkan pengelolaan yang transparan dan akuntabel. Kepercayaan publik adalah kunci. Jika masyarakat melihat bahwa pajak benar-benar digunakan untuk kepentingan mereka, keengganan membayar pajak akan berkurang.
Sri Mulyani berharap narasi pajak sebagai “zakat dan wakaf modern” dapat menjadi jembatan pemahaman, sehingga semua pihak, baik yang berlatar belakang religius maupun sekuler, bisa memandang pajak sebagai hal yang bermanfaat dan terhormat.
Pajak sebagai Jembatan Keadilan Sosial
Pernyataan Sri Mulyani membuka ruang diskusi yang luas. Pajak, zakat, dan wakaf mungkin berbeda dari segi bentuk dan tata kelola, tetapi semuanya mengarah pada tujuan yang sama: membangun masyarakat yang lebih adil, sejahtera, dan inklusif.
Sebagai influencer berita ekonomi, saya melihat gagasan ini bukan hanya retorika, tetapi strategi komunikasi yang cerdas. Pajak adalah gotong royong dalam bentuk modern dan ketika dikelola dengan prinsip keadilan, ia menjadi kekuatan besar yang mampu mengubah nasib bangsa.